SIBUK YANG MENGURAS MAKNA


Oleh: Diaz Hamzah

Pagi itu layar laptop sudah menyala sebelum mata benar-benar sadar. Notifikasi berdentang, kalender penuh kotak warna-warni menghiasi, dan daftar rencana kerja berjejer rapi seolah menuntut diselesaikan satu per satu. Kita bergerak cepat (berpikir cepat, berbicara cepat, memutuskan cepat) namun jarang berhenti untuk bertanya: ke mana semua ini membawa kita?

Di dunia kerja modern, sibuk telah menjelma menjadi kebanggaan baru. Semakin padat agenda, semakin tinggi nilai seseorang di mata lingkungan. “Dia sibuk terus, berarti penting.” Logika itu diterima tanpa perlawanan. Padahal, di balik kesibukan yang tampak produktif, tersembunyi sebuah ironi: banyak orang berlari kencang, namun tidak benar-benar bergerak ke manapun.

Fenomena ini kerap dianalogikan seperti treadmill. Keringat mengalir, napas tersengal, energi terkuras, tetapi jarak tetap nol. Aktivitas menggantikan arah. Rapat menukar makna. Kesibukan menjadi tujuan, bukan lagi alat. Ketika tidak sibuk, rasa bersalah muncul. Ketika jadwal kosong, harga diri seolah turun.

Masalahnya bukan pada pekerjaan itu sendiri, melainkan pada arah. Kita terlalu sibuk menjawab bagaimana hingga lupa bertanya mengapa. Laporan disusun tanpa tahu keputusan apa yang hendak diambil. Target dikejar tanpa pernah dipastikan apakah ia membawa pada kebaikan yang hakiki. Perlahan, makna menguap di tengah rutinitas.

Kesibukan yang terus-menerus juga melatih otak pada kepuasan instan. Satu tugas selesai, dopamin naik. Puas sejenak, lalu kosong lagi. Kita pun mencari sensasi berikutnya (menambah proyek, menambah rapat, menambah daftar kerja) seolah kehilangan arah bisa diatasi dengan menambah kecepatan. Padahal yang dibutuhkan bukan lebih banyak, melainkan lebih berarti.

Akibatnya terasa sunyi. Pulang dengan tubuh lelah, tetapi hati tetap hampa. Sibuk, namun kosong. Bekerja, tetapi tidak berkarya. Manusia yang seharusnya menumbuhkan makna berubah menjadi mesin yang bernapas, bergerak tanpa irama, fokus tanpa jeda.

Dalam Islam, kerja bukan sekadar aktivitas fisik atau tuntutan ekonomi. Ia adalah amanah dan ladang ibadah. Setiap basmalah yang diucapkan sebelum bekerja bukanlah formalitas, melainkan penegasan arah: bahwa setiap langkah terikat pada niat. Ketika niat lurus, aktivitas paling sederhana pun bernilai. Mengetik laporan bisa menjadi syukur, melayani pelanggan bisa menjadi kasih sayang, mendengarkan rekan kerja bisa menjadi ibadah.

Produktivitas sejati tidak lahir dari banyaknya aktivitas, tetapi dari kedalaman makna di baliknya. Bukan soal berapa cepat kita bergerak, melainkan ke mana kita menuju. Bukan tentang berapa banyak yang dikerjakan, melainkan seberapa bernilai yang dikerjakan.

Karena itu, sebagian ahli manajemen kini menyebut pentingnya strategic pruning, memangkas yang tidak penting agar yang penting bisa tumbuh kuat. Fokus adalah keberanian untuk berkata “tidak” pada hal-hal yang hanya membuat kita tampak sibuk, tetapi tidak berdampak. Setiap orang pun memiliki irama kerja yang berbeda. Ada yang tajam di pagi hari, ada yang jernih di malam sunyi. Ritme itu perlu dikenali, dijaga, dan dihormati.

Namun kunci paling mendasar tetaplah niat. Sebelum membuka laptop, pertanyaan itu layak diajukan: untuk apa aku melakukan ini? Jika jawabannya hanya “agar selesai”, kelelahan akan datang lebih cepat. Tetapi jika ada tujuan yang lebih agung (memberi manfaat, menunaikan amanah, mendekatkan diri kepada Allah) maka kerja tidak hanya menguatkan, tetapi juga menumbuhkan.

Barangkali selama ini kita keliru mendefinisikan produktivitas sebagai kecepatan. Padahal ia adalah kedalaman. Bukan tentang menjadi yang paling sibuk di ruang rapat, tetapi menjadi yang paling hadir dalam setiap langkah. Hadir dengan pikiran, hadir dengan hati, hadir dengan kesadaran.

Menjelang hari berakhir, jeda itu penting. Menutup layar sejenak, menarik napas panjang, lalu menengok kembali jalan yang ditempuh. Apakah langkah-langkah tadi benar-benar menuju sesuatu yang berarti, atau kita hanya berputar-putar di tempat yang sama?

Produktivitas sejati bukan hidup yang sibuk, melainkan hidup yang bermakna. Hidup yang menumbuhkan, bukan menghabiskan. Hidup untuk mengumpulkan bekal kematian, bukan sekadar menggugurkan kewajiban. Dari sanalah lahir manusia berdaya tinggi, bukan karena paling cepat bergerak, tetapi karena paling sadar ke mana ia melangkah.

Tulisan ini tidak lahir untuk menggurui siapa pun. Ia hadir sebagai jeda bagi diri sendiri, sebagai upaya menjaga agar langkah tidak melenceng, agar arah tetap jelas, dan agar kesibukan yang terus menuntut tidak mengikis makna hidup yang seharusnya dituju.

Posting Komentar

0 Komentar