
Oleh: Diaz Hamzah
Ia datang ke kantor setiap pagi dengan rutinitas yang sama. Menyalakan komputer, membuka daftar pekerjaan, lalu mengeksekusi tugas satu per satu. Semua selesai tepat waktu. Tidak ada masalah berarti. Namun di balik kerapian itu, ada ruang kosong yang sulit dijelaskan.
Di ruang kerja yang dingin dan nyaris tanpa percakapan, ia merasa seperti mesin. Atasannya jarang berbicara, apalagi memberi arahan. Tidak ada evaluasi, tidak ada umpan balik, bahkan sekadar pertanyaan sederhana tentang progres kerja pun nyaris tak terdengar. Hari-hari berlalu dengan pola yang sama, produktif secara angka, tapi hampa secara makna.
Dalam perjalanan pulang, pertanyaan itu terus mengusik pikirannya: apakah memang seperti ini dunia kerja? Jika atasan terus diam dan sistem tidak berubah, apakah ia harus ikut diam dan mati pelan-pelan dalam rutinitas yang menumpulkan?
Diamnya Atasan, Bekunya Pertumbuhan
Cerita semacam ini ternyata bukan miliknya seorang. Dalam berbagai forum diskusi dan obrolan publik, keluhan serupa berulang kali muncul. Banyak pekerja merasa terjebak di bawah kepemimpinan yang pasif, atasan yang hanya memberi perintah tanpa visi, menyuruh tanpa memahami, hadir tanpa membimbing.
Namun, seiring waktu, muncul kesadaran yang lebih menakutkan. Bukan semata-mata tentang bos yang tidak menumbuhkan, melainkan tentang betapa banyak orang akhirnya berhenti bertumbuh karena terlalu lama menggantungkan perkembangan diri pada satu sosok. Karier, seolah-olah, diserahkan sepenuhnya ke tangan atasan.
Padahal hidup dan masa depan tidak pernah dititipkan kepada siapa pun selain diri sendiri. Dalam pandangan Islam, setiap manusia memikul amanah atas dirinya. Allah tidak menilai seseorang dari siapa atasannya, melainkan dari bagaimana ia menggunakan potensi dan kesempatannya, sekecil apa pun itu.
Stagnasi Bukan Takdir, Tapi Tanda
Lingkungan kerja memang tidak selalu ideal. Ada tempat yang kaya mentoring dan ruang belajar, tetapi jauh lebih banyak yang miskin arah dan minim tantangan. Sayangnya, dalam kondisi seperti itu, banyak orang memilih menunggu. Menunggu diajak pelatihan, menunggu disuruh, menunggu sistem berubah.
Hari-hari pun berlalu seperti roda yang berputar. Aktivitas tak pernah berhenti, tapi pertumbuhan nyaris tak terasa. Stagnasi dianggap sebagai nasib, bukan sebagai peringatan. Padahal stagnasi sejatinya adalah alarm, tanda bahwa ada yang perlu diubah dari dalam diri, bukan sekadar dari luar.
Islam mengajarkan prinsip yang tegas dalam hal ini: perubahan tidak datang dari luar terlebih dahulu. Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka sendiri berani mengubah apa yang ada dalam diri mereka. Kesadaran inilah yang perlahan mengusik pikiran.
Langkah Kecil yang Mengubah Arah
Perubahan itu tidak datang dalam bentuk keputusan besar. Bukan dengan langsung resign atau menuntut atasan. Yang harus lakukan justru sebaliknya, langkah-langkah kecil yang nyaris tak terlihat.
Mulailah mencatat persoalan yang muncul dalam pekerjaan sehari-hari. Membaca dan belajar lebih dari yang diminta. Mencoba memahami alur kerja yang selama ini berjalan tanpa arah yang jelas. Ketika menemukan masalah, carilah solusi sendiri meski tidak ada perintah.
Tidak ada pujian. Tidak ada tepuk tangan. Namun ada sesuatu yang berubah. Yaitu, kembali merasa hidup. Pulang dengan tubuh lelah, tapi pikiran lebih jernih dan hati lebih tenang. Merasa bertumbuh, meski pelan.
Bukan Atasan yang Berubah, Tapi Diri Sendiri
Waktu berjalan hingga tiba masa evaluasi tahunan. Ia datang tanpa ekspektasi apa pun. Namun justru di situlah namanya disebut. Ia dinilai mampu menyelesaikan persoalan tanpa harus menunggu aba-aba, mampu berpikir mandiri, dan dianggap layak memikul tanggung jawab lebih besar.
Ia menyadari satu hal penting: titik balik itu bukan terjadi karena atasannya berubah, melainkan karena ia berhenti menunggu perubahan dari luar. Ia memilih mengubah dirinya sendiri.
Bekerja Sebagai Amanah, Bertumbuh Sebagai Tanggung Jawab
Pengalaman itu mengajarkannya bahwa karier tidak ditentukan oleh lamanya waktu bekerja, tetapi oleh kapasitas yang terus diperbesar. Bukan senioritas yang menaikkan nilai seseorang, melainkan kontribusi nyata. Dan kontribusi tidak lahir dari kerja otomatis, melainkan dari kerja yang sadar dan penuh tanggung jawab.
Tempat kerja, pada akhirnya, adalah medan latihan. Atasan yang sulit melatih kesabaran. Proyek yang tidak jelas melatih kreativitas dan ikhtiar. Lingkungan yang dingin melatih keikhlasan. Tujuan akhirnya bukan sekadar menyenangkan manusia, tetapi membentuk diri yang kelak harus mempertanggungjawabkan setiap amanah di hadapan Allah.
Rasulullah ﷺ sendiri tumbuh dalam lingkungan yang jauh dari ideal. Namun justru dari keterbatasan itulah lahir perubahan besar yang menerangi dunia. Maka tidak ada alasan bagi siapa pun untuk menunggu kondisi sempurna sebelum mulai bertumbuh.
Penutup
Tulisan ini bukan ceramah tentang karier, apalagi seruan untuk melawan atasan. Ia hanyalah pengingat (terutama bagi diri sendiri) agar kesibukan tidak mengaburkan arah, agar pekerjaan tidak mematikan makna hidup.
Sebab pada akhirnya, yang akan ditanya bukan seberapa tinggi jabatan yang diraih, melainkan sejauh mana seseorang bertumbuh dari amanah yang dijalaninya.
0 Komentar