MENDEFINISIKAN ULANG MAKNA AMAN DALAM PROFESI ASN


Oleh: Diaz Hamzah

Setiap kali topik pekerjaan dibicarakan di meja makan keluarga, satu kalimat hampir selalu muncul sebagai penutup diskusi: “Yang penting aman.” Di banyak rumah di Indonesia, kata aman itu lalu mengerucut pada satu pilihan menjadi Aparatur Sipil Negara.

ASN dipersepsikan sebagai profesi tanpa gejolak. Gaji rutin, status sosial jelas, dan rasa aman dari pemecatan yang seenaknya. Sebuah jalan hidup yang dianggap tenang, jauh dari risiko. Namun, di balik definisi itu, semakin banyak ASN yang diam-diam hidup dengan kecemasan finansial, stagnasi keterampilan, dan ketergantungan sistemik yang jarang disadari.

Mungkin sudah waktunya kita berhenti bertanya, “Apakah ASN itu aman?

Dan mulai bertanya, “Aman menurut siapa, dan untuk apa?


Aman yang Didefinisikan Terlalu Sempit

Bagi sebagian ASN, aman berarti tidak dipecat. Selama absensi terpenuhi, laporan dikumpulkan, dan perintah atasan dijalankan, hidup dianggap berjalan sebagaimana mestinya. Namun definisi ini terlalu sempit untuk ukuran kehidupan yang panjang.

Aman versi ini sering kali mengabaikan realitas ekonomi. Gaji yang naik perlahan tertinggal jauh dari laju inflasi, harga rumah, dan biaya pendidikan. Setiap awal bulan, gaji masuk hanya untuk segera keluar: cicilan, potongan, dan kebutuhan pokok. Tidak ada ruang bernapas, apalagi bertumbuh.

Ironisnya, rasa aman justru membuat banyak orang berhenti bertanya. Mereka menerima keadaan sebagai takdir profesi, bukan sebagai sistem yang perlu dievaluasi. Status memberi rasa cukup, meski dompet berkata sebaliknya.


Hidup yang Bergantung pada Keputusan Orang Lain

Sedikit yang mau mengakui bahwa stabilitas ASN sangat bergantung pada keputusan politik. Kesejahteraan pegawai ditentukan bukan semata oleh kinerja, melainkan oleh arah anggaran yang diputuskan di ruang-ruang kekuasaan.

Hari ini tunjangan aman, besok bisa dipangkas. Hari ini bekerja dekat keluarga, esok bisa dipindahkan dengan satu surat tugas. Dalam sistem ini, ASN tidak sepenuhnya mengendalikan hidupnya sendiri. Ia patuh, bukan karena yakin, tetapi karena tidak punya pilihan.

Keamanan semacam ini sesungguhnya rapuh. Ia bergantung pada faktor eksternal yang tidak bisa dikendalikan individu. Aman yang sejati seharusnya memberi ruang kendali, bukan sekadar kepatuhan.


Rutinitas yang Mengikis Daya Hidup

Bahaya terbesar profesi ASN sering kali tidak terasa karena datang perlahan. Ia hadir dalam bentuk rutinitas yang monoton. Hari-hari yang nyaris seragam: absen, laporan, rapat, pulang. Tantangan intelektual minim, dorongan belajar nyaris tak ada.

Sementara dunia kerja di luar menuntut adaptasi cepat (teknologi baru, pola bisnis baru, kompetensi baru) banyak ASN tetap berada di tempat yang sama selama bertahun-tahun. Bukan karena tidak mampu, tetapi karena sistem tidak memaksa untuk tumbuh.

Rasa aman itu berubah menjadi zona nyaman. Dan zona nyaman, jika terlalu lama dihuni, akan mematikan naluri bertahan hidup. Ketika perubahan besar datang (digitalisasi, otomatisasi, atau reformasi birokrasi) yang paling rentan justru mereka yang paling lama merasa aman.


Ketika Aman Berubah Menjadi Ketergantungan

Simbol paling nyata dari keamanan semu ini adalah praktik menggadaikan SK. Sebuah kebiasaan yang diwariskan dari generasi ke generasi ASN. SK yang seharusnya menjadi amanah profesi, berubah menjadi jaminan utang jangka panjang.

Dengan gaji yang sudah terpotong sejak awal, ASN bekerja bukan lagi untuk membangun masa depan, melainkan untuk melunasi masa lalu. Seragam tetap rapi, status tetap terhormat, tetapi kebebasan finansial menghilang.

Pada titik ini, aman tidak lagi berarti terlindungi. Aman justru berarti terikat: pada cicilan, pada sistem, pada rutinitas yang sulit ditinggalkan.


Aman dalam Perspektif yang Lebih Jujur

Dalam Islam, aman bukan sekadar stabilitas, tetapi amanah. Aman berarti mampu menunaikan tanggung jawab hidup dengan akal sehat, ikhtiar, dan kesadaran. Rasulullah ﷺ mengajarkan agar seorang mukmin kuat, bukan hanya imannya, tetapi juga akalnya, ilmunya, dan kemampuannya bertahan hidup.

Aman sejati bukan hidup tanpa risiko, melainkan hidup dengan kesiapan. Siap secara mental, finansial, dan intelektual. Siap menghadapi perubahan, bukan bersembunyi di balik status.

Menjadi ASN tidak salah. Yang berbahaya adalah menjadikan profesi itu satu-satunya sandaran hidup, tanpa upaya mengembangkan diri, tanpa literasi keuangan, dan tanpa kesadaran bahwa sistem bisa berubah kapan saja.


Mendefinisikan Aman Kembali

Aman tidak lagi cukup dimaknai sebagai bertahan di satu lingkup ASN. Di tengah arus digitalisasi dan kecerdasan buatan yang kian deras, aman berarti kesiapan diri menghadapi perubahan. Belajar hal baru, mengasah potensi, dan bahkan membangun usaha produktif bukan sebagai bentuk pembangkangan kepada atasan, melainkan ikhtiar agar hidup tidak sepenuhnya bergantung pada satu sandaran.

Seorang ASN yang terus belajar dan berdaya justru sedang menjaga amanahnya: tetap relevan, mandiri, dan bermanfaat di zaman yang bergerak cepat. Artificial Intelligence (AI) mungkin tidak menghapus semua pekerjaan, tetapi ia akan menyingkirkan mereka yang berhenti berkembang. Karena itu, aman bukan lagi soal jabatan, melainkan keterampilan. Bukan tentang seragam, tetapi nilai yang kita miliki.

Aman sejati adalah ketika seseorang tetap tenang meski sistem berubah, tetap bernilai meski posisi bergeser, dan tetap mampu bertahan dengan ilmu serta usaha yang ia bangun sendiri. Di era ini, keamanan tidak diwariskan oleh institusi, ia dibentuk oleh kesadaran untuk terus belajar dan bertumbuh.

Posting Komentar

0 Komentar