KESEPIAN DI TENGAH KERAMAIAN DIGITAL: FENOMENA “LONELY IN THE CROWD”


Oleh: Diaz Hamzah

Bayangkan seseorang sedang duduk di kafe yang penuh pengunjung. Suara tawa terdengar dari meja sebelah, denting gelas bercampur dengan musik latar yang riuh. Namun, di balik layar ponselnya, ia menatap linimasa TikTok yang terus bergulir. Ironisnya, meski dikelilingi manusia, ia merasa hampa. Inilah fenomena yang kini dikenal sebagai lonely in the crowd (kesepian di tengah keramaian).

Fenomena ini bukan sekadar cerita fiksi. Global Digital Reports dari Data Reportal mencatat ada 5,25 miliar orang aktif di media sosial¹. Namun, riset terbaru menunjukkan bahwa koneksi virtual tidak serta-merta menghapus rasa kesepian. Justru, linimasa yang dipenuhi hiburan dan kisah personal kerap meninggalkan jejak keterasingan².


Gen Z dan TikTok: Antara Hiburan dan Kesepian

Fenomena ini menarik perhatian mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). Mereka meneliti fenomena kesepian di TikTok dengan tajuk “Loneliness in the Crowd: Eksplorasi Literasi Media Digital pada Fenomena Kesepian di TikTok melalui Konfigurasi Kajian Hiperrealitas Audiovisual”. Penelitian ini bahkan lolos Program Kreativitas Mahasiswa Riset Sosial Humaniora (PKM-RSH) 2025 dan didanai Kemendiktisaintek².

Menurut Fifin Anggela Prista, ketua tim riset, banyak Gen Z yang aktif di dunia maya tetapi minim interaksi nyata. Ia mengungkapkan bahwa konten di media sosial sering kali hasil rekayasa, tetapi tetap dikonsumsi seolah “lebih nyata dari realitas itu sendiri”, sebuah gambaran teori hiperrealitas. Narasi kesepian, kehilangan, dan keterasingan diproduksi ulang dengan sentuhan estetik sehingga memengaruhi kondisi emosional penggunanya².

Konten yang dibuat orang lain sering kali merepresentasikan diri kita. Walaupun sebagian komersial, pengguna tetap membagikannya karena merasa konten tersebut mewakili perasaan mereka,” jelas Fifin. Namun, perilaku ini memicu efek domino: semakin sering membagikan konten kesepian, semakin banyak konten serupa muncul, yang pada akhirnya meningkatkan risiko gangguan kesehatan mental².


Lonely in the Crowd dari Kaca Mata Psikologi

Fenomena ini juga dibahas dalam berbagai literatur akademik. Scientific Reports (2021) menunjukkan bahwa kepadatan populasi justru meningkatkan peluang isolasi sosial³. Bahkan, Journal of Personality and Social Psychology (2009) menyebut kesepian bisa menyebar layaknya virus dalam jejaring sosial⁴.

BBC Future (2025) menulis: seseorang bisa merasa tidak terlihat atau tidak dipahami, meskipun secara fisik ia tidak sendiri. Inilah yang disebut “perceived isolation”, isolasi yang dirasakan⁵.

Dampaknya nyata: depresi, kecemasan sosial, kualitas tidur menurun, hingga pola kepribadian yang semakin tertutup. Generasi muda, khususnya Gen Z, bahkan disebut sebagai “generasi paling kesepian” di era digital⁵.


Kapitalisme dan Akar Masalah

Jika ditelusuri lebih dalam, fenomena ini bukan hanya masalah psikologis. Akar persoalan justru berkelindan dengan sistem kehidupan sekuler-liberal yang melahirkan industri kapitalis. Dalam arus kapitalisme, media sosial lebih sering diarahkan untuk mengejar popularitas, cuan, dan gaya hidup hedonis. Pola pikir inilah yang menjadikan manusia semakin individualistis, asosial, dan merasa cukup dengan “kebersamaan semu” di ruang maya².

Akibatnya, pola hubungan di dunia nyata renggang. Dalam keluarga, komunikasi antar anggota terasa hambar. Dalam masyarakat, kepedulian melemah. Padahal, manusia sejatinya makhluk sosial yang diciptakan Allah untuk saling mengenal, berinteraksi, dan membangun peradaban. Allah berfirman:

يٰۤاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقۡنٰكُمۡ مِّنۡ ذَكَرٍ وَّاُنۡثٰى وَجَعَلۡنٰكُمۡ شُعُوۡبًا وَّقَبَآٮِٕلَ لِتَعَارَفُوۡا​ ؕ اِنَّ اَكۡرَمَكُمۡ عِنۡدَ اللّٰهِ اَ تۡقٰٮكُمۡ​ ؕ اِنَّ اللّٰهَ عَلِيۡمٌ خَبِيۡرٌ‏
Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan. Kemudian Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa.” (QS. Al-Hujurat: 13)


Solusi Islam: Dari Individu hingga Negara

Dalam Islam, teknologi bukanlah musuh. TikTok, Instagram, atau YouTube bisa menjadi sarana dakwah dan kemaslahatan, asalkan paradigma yang digunakan adalah Islam. Namun, kesadaran individu saja tidak cukup. Negara harus hadir untuk mengatur pemanfaatan teknologi agar tidak menjerumuskan umat dalam jebakan kapitalisme digital².

Negara seharusnya mendorong cendekiawan Muslim menciptakan platform yang memberdayakan generasi muda, membangun literasi digital Islami, serta menjadikan media sosial sebagai sarana amar ma’ruf nahi munkar. Inilah yang akan menjaga umat dari arus kesepian massal dan mengubah potensi generasi muda menjadi karya yang bermanfaat.

Allah pun menjanjikan:

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ ٱلْقُرَىٰٓ ءَامَنُوا۟ وَٱتَّقَوْا۟ لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَٰتٍ مِّنَ ٱلسَّمَآءِ وَٱلْأَرْضِ
Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi…” (QS. Al-A’raf: 96)


Penutup

Fenomena “lonely in the crowd” sejatinya menunjukkan rapuhnya masyarakat modern yang kehilangan arah hidup. Masalah ini bukan hanya soal TikTok atau media sosial, melainkan sistem kehidupan yang membentuk cara pandang manusia. Islam hadir memberikan solusi dengan mengembalikan manusia pada fitrahnya: makhluk sosial yang berinteraksi secara nyata, saling menolong, dan membangun hubungan bermakna. Dengan syariat Islam, kehidupan tidak lagi terjebak pada pencitraan semu, melainkan terarah menuju kebahagiaan hakiki di dunia dan akhirat.


Daftar Referensi

Posting Komentar

0 Komentar