
Oleh: Diaz Hamzah
Pagi itu, layar laptop kembali menjadi jendela utama menuju dunia baru yang tengah mengguncang berbagai sektor, termasuk pemerintahan. Pukul delapan lawat, suara moderator terdengar di ruang virtual Zoom, menandai dimulainya hari pertama Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) Pemanfaatan Artificial Intelligence (AI) dalam Pengembangan Sistem Teknologi Pemerintahan di Lingkungan Pemerintah Provinsi Banten tahun 2025.
Bukan sekadar pelatihan biasa, diklat ini menghadirkan nuansa yang berbeda. Selama tujuh hari penuh (dari 27 Agustus hingga 4 September) para peserta ASN digembleng untuk memahami, menguasai, sekaligus merasakan langsung bagaimana kecerdasan buatan dapat diintegrasikan dalam kerja birokrasi sehari-hari. Waktu pelatihan pun tidak main-main, dimulai sejak pagi hingga sore, bahkan kerap melampaui pukul lima. Melelahkan, memang. Namun, semangat belajar yang membara membuat rasa lelah itu tergantikan oleh rasa ingin tahu yang terus menyala.
Hari Pertama: Orientasi, AI, dan Integritas ASN
Hari pertama menjadi pintu pembuka. Peserta diarahkan masuk ke Learning Management System (LMS), memperbarui biodata, hingga mengunggah foto resmi. Meski terkesan sederhana, langkah ini menegaskan pentingnya data yang akurat dalam sistem pemerintahan.
Tak lama, materi inti dimulai: kebijakan AI di pemerintahan. Narasumber menjelaskan bagaimana teknologi ini sudah menjadi kebutuhan strategis. Dari prediksi bencana hingga chatbot layanan publik, dari otomatisasi administrasi hingga sistem keamanan berbasis pengenalan wajah, semua mengarah pada satu tujuan: pemerintahan yang lebih efisien, transparan, dan responsif.
Yang menarik, sesi hari pertama tidak hanya bicara teknologi. Materi anti-korupsi turut diselipkan. AI ternyata bisa membantu mengidentifikasi anomali transaksi, mempercepat audit, dan menutup celah-celah penyimpangan. Seakan ingin menegaskan, bahwa secanggih apa pun teknologi, ujungnya tetap pada integritas manusia yang menggunakannya.
Hari Kedua: Mengenal Otak Buatan
Hari kedua membawa peserta menyelami sejarah panjang AI. Dari Turing Test Alan Turing pada 1950, kelahiran istilah AI oleh John McCarthy, hingga munculnya teknologi generatif yang kini sanggup membuat teks, gambar, bahkan video.
Perjalanan sejarah itu membuka mata, bahwa AI bukan fenomena tiba-tiba, melainkan buah riset panjang. Peserta juga dikenalkan dengan tiga jenis AI: ANI (Artificial Narrow Intelligence) untuk tugas spesifik, AGI (Artificial General Intelligence) yang meniru kecerdasan manusia, dan Super AI yang bahkan melebihi manusia. Diskusi pun berkembang, antara rasa takjub sekaligus kekhawatiran: “Sejauh mana kita bisa mengendalikan mesin yang makin cerdas ini?”
Etika penggunaan AI menjadi topik penting. Potensi penyalahgunaan, seperti deepfake, menjadi peringatan keras agar pemerintah berhati-hati. Apalagi Indonesia sudah memiliki regulasi awal lewat Surat Edaran Menkominfo No. 9/2023 tentang mitigasi risiko AI.
Sesi praktik menambah antusiasme. Peserta belajar prompt engineering, meracik kalimat untuk mengarahkan chatbot seperti ChatGPT agar memberi jawaban lebih relevan. Dari sinilah, AI mulai terasa nyata: bukan hanya teori, tapi juga alat kerja harian.
Hari Ketiga: AI untuk Kerja Harian ASN
Hari ketiga mengajarkan bagaimana AI bisa menjadi asisten setia dalam pekerjaan administratif maupun kreatif. Aplikasi seperti Notion AI diperkenalkan untuk manajemen tugas dan jadwal. Tak berhenti di situ, AI juga membantu menulis artikel, laporan, hingga merancang infografis lewat Canva AI dan Dreamina. Bahkan, editing video kini bisa dilakukan hanya dengan perintah teks melalui Runway ML.
Satu hal yang benar-benar memikat peserta adalah penggunaan AI untuk transkripsi rapat. Bayangkan, tidak perlu lagi repot mencatat setiap kata. Aplikasi TL;DV otomatis merekam, menyalin, dan merangkum percakapan rapat, lengkap dengan daftar tindakan lanjut. Sebuah lompatan besar untuk efisiensi birokrasi yang selama ini kerap tersandera oleh tumpukan notulen manual.
Hari Keempat: Riset dan Multimedia
Memasuki hari keempat, ruang belajar semakin meluas. AI tak lagi diposisikan hanya sebagai alat bantu administrasi, tetapi juga mitra riset. Aplikasi Consensus.app, misalnya, membantu menemukan literatur akademik dan gap penelitian. Sementara DALL-E dan Gemini hadir untuk menciptakan visualisasi yang memperkuat komunikasi publik.
Diskusi pun berlanjut ke arah kebijakan. Bagaimana jika AI dimanfaatkan untuk riset kebijakan publik? Misalnya, memetakan efektivitas program pendidikan, menganalisis distribusi anggaran, atau menakar kepuasan masyarakat. Dengan bantuan AI, keputusan pemerintah bisa lebih berbasis data, bukan sekadar intuisi.
Hari Kelima: Bekerja Lebih Cepat dengan AI
Hari kelima, peserta diajak untuk benar-benar berlari bersama AI. Tools seperti ChatGPT dan Copilot dimanfaatkan untuk menulis laporan panjang hanya dalam hitungan menit. Dokumen yang biasanya butuh waktu berjam-jam, kini bisa diselesaikan dalam sekejap.
Pelajaran penting hari itu adalah seni menggunakan prompt. Dari direct prompt hingga role-based prompt, dari perintah sederhana hingga langkah bertahap, semua dipraktikkan. Hasilnya menakjubkan, AI bisa diajak berdiskusi, menganalisis data, bahkan menyusun draft kebijakan.
Hari Keenam: Presentasi, Suara, dan Video Multibahasa
Hari keenam lebih terasa seperti lokakarya multimedia. Peserta dikenalkan pada Slido.com untuk interaksi audiens, Gamma.app untuk presentasi otomatis, hingga Elevenlabs.io yang mengubah teks menjadi suara alami.
Puncaknya, Heygen.com memperlihatkan bagaimana sebuah teks bisa dihidupkan menjadi video dengan sinkronisasi bibir dalam berbagai bahasa. Terbayang sudah manfaatnya: publikasi pemerintah yang inklusif, menjangkau masyarakat lintas bahasa.
Hari Ketujuh: Menutup, Tapi Tidak Selesai
Hari terakhir menjadi ruang refleksi. Diskusi evaluasi menggali kesan, tantangan, sekaligus harapan. Rencana tindak lanjut pun disusun: dari implementasi bertahap di OPD, pembentukan pusat inovasi AI, hingga kolaborasi dengan universitas dan industri.
Diklat ini memang berakhir pada 4 September, tetapi sesungguhnya, perjalanan baru saja dimulai. Tantangan besar menanti: keterbatasan infrastruktur, minimnya SDM terlatih, hingga regulasi yang masih belum detail. Namun, peluang pun terbuka lebar. Jika benar-benar dijalankan, AI bisa menjadi kunci menuju pemerintahan cerdas di Banten.
Menyongsong Smart Governance
Belajar AI selama tujuh hari bukan hanya soal menguasai aplikasi, tetapi juga mengubah cara pandang. Bahwa birokrasi tidak boleh lagi berjalan dengan cara lama, lamban, dan berbelit. AI hadir untuk mengefisienkan kerja, memperkuat transparansi, sekaligus mendekatkan pemerintah pada masyarakat.
Meski melelahkan, pengalaman diklat ini menegaskan satu hal: ASN Banten siap menyongsong era baru. Dari chatbot hingga smart governance, dari teks otomatis hingga kebijakan berbasis data, semuanya bermuara pada satu tujuan, mewujudkan pemerintahan yang adaptif, akuntabel, dan berdaya saing di tengah gempuran teknologi yang kian gila.
0 Komentar