
Oleh: Diaz Hamzah
Hari itu saya merasa gelisah tanpa sebab. Padahal tidak ada tekanan kerja berlebih, tidak pula masalah keluarga. Tapi ada yang aneh: saya sulit fokus membaca satu halaman penuh buku. Pikiran meloncat-loncat, untuk mengalihkannya saya sering membuka TikTok atau Instagram Reels, menggulir tanpa henti, dari satu video ke video lain, tanpa alasan jelas.
Awalnya, saya mengira ini hal biasa. Siapa sih hari ini yang tidak scroll media sosial? Tapi lama-lama, saya sadar ada yang salah. Setiap kali saya coba fokus bekerja atau belajar, kepala ini seakan menolak. Ingatan cepat menguap, otak terasa lelah, dan waktu produktif lenyap begitu saja, ditelan layar ponsel.
Setelah mencari tahu, barulah saya mengenal istilahnya: brain rot.
Fenomena ini adalah penurunan fungsi kognitif otak akibat paparan konten instan secara terus-menerus. Video berdurasi pendek yang viral di TikTok, Reels, dan Shorts dirancang untuk menggoda otak dengan suntikan dopamin cepat. Sekilas terasa menyenangkan. Tapi ternyata, efeknya bisa sangat merusak.
Saya pun menemukan laporan yang menambah kegelisahan. Tempo, dalam artikelnya tanggal 28 Januari 2025, menyebutkan bahwa brain rot tidak hanya merusak kesehatan mental, tapi juga bisa mengganggu fungsi otak secara menyeluruh. Efeknya mencakup kecemasan, depresi, penurunan kreativitas, dan menurunnya kualitas hidup.
Saya pun merenung dalam. Akankah saya membiarkan otak ini membusuk perlahan oleh konten-konten cepat saji? Atau harus ada jalan keluar?
Jawaban itu datang dari seseorang yang telah lama saya hormati: Ustadz Zaki, mentor spiritual dan intelektual saya. Beliau menyarankan saya mengikuti Akademi Penulis Ideologis (API), sebuah pelatihan menulis yang bukan sekadar teknis jurnalistik, tapi juga membentuk cara berpikir dan memperkuat visi hidup.
Saya mengikuti saran itu. Di sinilah saya kembali bertemu sosok yang pernah menjadi dosen saya saat kuliah, Om Joy, serta para asisten coach: Asco Mu’it, Asco Rasman, dan Asco Bayu. Mereka bukan hanya mengajarkan menulis, tapi juga membimbing kami untuk berpikir dalam, membaca dengan teliti, dan menyusun gagasan yang membangun.
Hari demi hari saya lalui dengan membaca materi, artikel dan buku-buku teknik menulis dan mempraktikkannya kembali dalam bentuk narasi. Tanpa saya sadari, saya mulai bisa fokus lagi. Pikiran lebih tenang. Ketergantungan pada video pendek pun perlahan sirna.
Proses ini seperti detoksifikasi otak. Setiap materi, artikel dan halaman buku yang saya baca terasa seperti terapi. Setiap paragraf yang saya tulis menjadi penguat daya pikir.
Kini saya tahu, menyembuhkan brain rot bukan dengan menjauh dari teknologi semata. Tapi dengan menggantinya, menggantikan konten instan dengan bacaan mendalam, menggantikan hiburan kosong dengan aktivitas intelektual yang menyuburkan akal.
Apakah kamu pernah mengalami hal serupa? Jika merasa cemas, sulit fokus, kehilangan kreativitas, atau merasa waktu terbuang tanpa arah, bisa jadi itu gejala brain rot.
Cobalah cara yang saya jalani. Kembalilah membaca. Tenggelamkan diri dalam tulisan-tulisan bermakna. Karena sesungguhnya, membaca bukan hanya memperkaya ilmu, tapi juga membuat hidup menjadi lebih bermakna, apalagi jika tulisan itu terkait pengetahuan tentang Islam serta bagaimana cara seorang muslim harus menyikapi kehidupan.
Dan bisa jadi, dari halaman demi halaman buku itulah, kita menemukan kembali siapa diri kita sesungguhnya.
0 Komentar