KETIKA DOSEN MENJADI MENTOR SEPANJANG HAYAT


Oleh: Diaz Hamzah

Sore itu, Selasa, 1 Juli 2025, Kota Tangerang Selatan baru saja diguyur gerimis tipis. Di tengah kelelahan selepas pulang kerja, saya menerima sebuah paket yang sudah lama saya nanti-nantikan. Bukan sekadar paket biasa. Ini adalah paket yang membawa aroma nostalgia dan semangat baru: dua buku karangan Om Joy, begitulah saya dan banyak murid lainnya akrab memanggil beliau. Nama lengkapnya, Joko Prasetyo.

Bagi saya, Om Joy bukan sekadar jurnalis senior yang lama malang melintang di dunia pers. Ia adalah sosok dosen yang mengajarkan lebih dari sekadar teknik jurnalistik. Ia guru kehidupan. Saya mengenalnya pertama kali ketika menempuh kuliah di STAI-PTDII Jakarta, sekitar tahun 2012 hingga 2014 saat mengikuti mata kuliahnya. Mata kuliah jurnalistik selalu menyulut kembali semangat saya yang sejak Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) memang sudah mengenal dunia multimedia dan perfilman (termasuk jurnalistik).

Waktu SMK, saya hanya memahami jurnalistik dari sisi teknis: menulis berita, membedakan jenis-jenisnya, atau sekadar memahami struktur 5W+1H. Namun, duduk di kelas Om Joy seperti membuka tirai baru. Ia tidak sekadar mengajarkan apa dan bagaimana menulis, tetapi juga untuk siapa dan untuk apa menulis.

Bagi Om Joy, pena bisa jadi ladang amal jariyah. Tapi pena yang sama juga bisa menjadi sumber dosa yang terus mengalir hingga ke akhirat. Karena itu, dalam setiap tulisannya, ia teguh memegang prinsip syariat Islam: tidak memuat kebohongan, tidak menyebar fitnah, tidak menggiring opini tanpa data, dan tidak menormalisasi hal-hal yang menyelisihi ajaran Islam.

Membaca buku jilid pertama (Tips Taktis Menulis dari Sang Jurnalis Jilid 1: Teknik Menulis Opini) karangan beliau membuat saya seperti terseret kembali ke dalam ruang kelas tempo dulu. Bab demi bab terasa familiar, sebagian bahkan seperti déjà vu. Mungkin karena Om Joy memang sengaja mengulang beberapa bahasan sebagai teknik penguatan. Saya tidak berkomentar banyak soal itu. Yang pasti, esensi pesannya sampai.

Namun, sebagai pembaca yang juga belajar menulis, saya tidak bisa menahan diri untuk sedikit mengkritisi. Pada jilid pertama saya menemukan susunan kalimat yang kurang nyaman saya baca, tepatnya pada halaman 11 “oleh... karena itu” yang memiliki penempatan berjauhan. Dan di jilid kedua (Tips Taktis Menulis dari Sang Jurnalis Jilid 2: Teknik Menulis Karangan Khas), saya menemukan dua halaman terlipat (cacat cetak), halaman 105 dan 151. Mungkin bagian Quality Control-nya sedang tidak fokus saat proses produksi. Hehe.

Uniknya, di jilid dua saya menemukan pembatas buku terselip rapi. Saya jadi tersenyum sendiri. Karena di jilid pertama yang saya baca hingga selesai, pembatas bukunya entah di mana. Mungkin jatuh, mungkin juga tertinggal karena saya fokus pada permintaan tanda tangan dari Om Joy saat memesan.

Ada juga satu kalimat di halaman 45 yang saya rasa kurang enak dibaca:

Banyak FN yang saya tulis yang sumbernya adalah observasi.

Sepertinya kata “yang” kedua lebih tepat jika diganti menjadi “dan” atau “dengan”. Tapi ya, siapa tau hal tersebut adalah sesuatu yang disengaja?

Halaman 175 saya menemukan bercak tinta, namun untunglah tidak sampai menghalangi teks. Kekurangan-kekurangan kecil itu justru membuat pengalaman membaca terasa lebih personal dan nyata. Seperti membaca tulisan seorang guru yang sedang bercakap langsung dengan muridnya.

Kedua jilid dari buku itu selesai saya baca pada Minggu, 6 Juli 2025 pukul sembilan lewat dua puluh tujuh malam. Selesai, namun tidak selesai. Karena ilmu di dalamnya akan terus hidup dan berkembang dalam tulisan-tulisan saya selanjutnya. Untuk layout dari kedua buku itu sangat menarik (meriah tapi tidak norak) dan isi materinya disampaikan dengan bahasa yang membumi. Siapa pun bisa mencerna: tua maupun muda, pemula maupun profesional.

Lebih dari sekadar buku, karya ini adalah perpanjangan ruh seorang guru. Dan bagi saya, Om Joy bukan hanya dosen dalam arti akademik. Ia adalah mentor sepanjang hayat. Ia bukan sekadar menulis buku, tetapi sedang mewariskan prinsip hidup.

Dalam dunia yang semakin liar oleh opini, fitnah, dan informasi tanpa batas, Om Joy mengajarkan bagaimana menjadi penulis yang bertanggung jawab. Bukan hanya kepada pembaca, tetapi juga kepada Allah. Karena setiap huruf yang kita tulis, akan dimintai pertanggungjawaban.

Dan di situlah saya menetapkan jalan ninjaku: menulis untuk kebenaran, menulis dalam batas halal-haram, menulis sebagai ladang amal. Seperti kata Om Joy, menulislah dengan niat yang benar, maka tulisanmu bisa jadi amal jariyah. Tapi jika tidak hati-hati, tulisan bisa menjadi dosa jariyah yang mengendap hingga ke liang lahad.

Jazakumullah khairan katsiran wa jazakumullah ahsanal jaza


~Terimakasih Banyak Mentorku Om Joy~

Posting Komentar

0 Komentar