MENGAPA AKU HAMPA?


Ketika engkau cukup lama menjalani sesuatu, akan datang satu masa saat engkau kehilangan makna. Bingung, hampa, kosong, seolah berjalan tanpa arah dan tujuan.

Maka kebosanan akan segera menghampiri, kelesuan dan rasa malas pun tak terelakkan. Jangankan semangat, sekedar normal saja sudah sulit untuk dipertahankan.

Orang bilang itu masa crisis, insecurities, atau apapun. Yang jelas engkau berhenti berharap, dan menerima kenyataan apa adanya, menjadi manusia terburuk, jiwa tanpa idealisme.

Mungkin itu saatnya kita untuk kembali berpikir dan menata hati, menyendiri untuk lebih banyak mendengar dari diri sendiri, menyepi agar lebih banyak bicara dengan kebenaran.

Benarlah tutur Sang Bijak, dunia ini seperti air yang diseberangi. Panjang tempuhannya, lama jelajahnya, tapi selama kita ada diatas air, maka kita akan selamat, semua baik-baik saja.

Namun ada kalanya kita terpesona dengan keindahan bawah air, menahan nafas hingga tak tersisa bagi otak. Padahal kita dicipta bukan untuk ada diatas air, bukan pula dibawahnya.

Engkau pahami, saat dunia itu mulai mengikat hati. Ia hilangkan kenikmatan akhirat, pelan-pelan tanpa disadari. Ketika itu pula, makna dan arti kebahagiaan sejati direnggut darimu.

Mulailah candu-candu bahagia semu di-infuskan pada dirimu, seolah tanpa itu engkau tak bahagia. Budaya instan, kasar, pamer, mesum. Seolah tak ada hidup setelah akhir hidup ini.

Jadi apa yang paling penting bagi kita? Jawaban itu bisa jadi ditopengi oleh kata-kata manis dan pencitraannya. Tapi nilai diri selalu bisa diketahui dari apa yang dikhawatirkan.

Apa yang kita khawatirkan? Harta? Popularitas? Pasangan? Makan untuk hari esok? Atau diri kita sendiri? Masih dunia? Maka wajar saja akan datang masa kehampaan itu menghampiri.

Mungkin saat ramai kita masih bisa terlihat bahagia, tapi kita tahu siapa diri kita saat kita sendiri. Hanya masalah waktu saja sampai kita membenci keramaian yang menipu.

Kecuali bila jiwa kita menemukan peraduannya, dia takkan pernah tenang. Sebab jiwa itu selalu dalam perjalanan, untuk menemukan asalnya, kembali kepada fitrahnya.

وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ ۙ وَلَا يَزِيدُ الظَّالِمِينَ إِلَّا خَسَارًا
Dan Kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian. (Surat Al-Isra' Ayat 82)

الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram. (Surat Ar-Ra’d Ayat 28)

Posting Komentar

0 Komentar